Oktober 2017

“Hold fast to dreams, for if dreams die, life is a broken-winged bird that cannot fly.” -Langston Hughes

Pertandingan sore tadi dengan skor 65 – 58 yang dimenangkan oleh Seoul International School menutup pertandingan musim terakhir antar SMP se-Korea Selatan. Pertandingan yang juga merupakan pertandingan terakhir yang dapat diikuti Zeke tak hanya membuat anak itu teringat akan ujian kelulusannya yang sudah didepan mata, namun juga keputusan tentang masa depan yang akan dia pilih. Zeke masih terus memikirkan untuk melanjutkan sekolah di Seoul, khususnya di sekolah sains ternama yang memiliki jurusan robotik yang telah lama diincarnya. Namun ayahnya terus saja mendesak agar ia segera memasuki sekolah tinggi khusus bisnis yang berada jauh di negeri tirai bambu. Sebenarnya tak perlu jauh mengirimkan anak sulungnya itu ke Beijing, pemilik salah satu perusahaan Soju terbesar di korea selatan itu hanya ingin anak sulungnya mengubur mimpi tentang mesin-mesin dan fokus untuk melanjutkan bisnis yang dimiliki oleh keluarga besarnya.

Jam sudah menunjukkan pukul 11.39 malam, pun teman-teman satu tim nya sudah tertidur dengan lelap. Anak lelaki berusia 15 tahun itu masih saja berputar di sekitaran resort tempat ia menginap sembari memainkan ponsel lipatnya di kedua tangannya. Sesekali ia melihat ke sekeliling untuk memastikan bahwa pelatihnya tidak mengetahui bahwa ia keluar selarut ini padahal mereka harus kembali ke Seoul besok pagi-pagi sekali. Meskipun angin di kaki Gunung Halla bertiup dengan pelan, tak membuat Zeke beranjak dari tempat ia duduk satu jam yang lalu. Ketika ia memutuskan kembali ke penginapan, tanpa sengaja ponselnya terjatuh dari saku jaket dan membuat retakan cukup besar. Namun kesialannya tak cukup sampai disitu. Baru saja ia hendak memungut handphone-nya, seekor binatang kecil menyambar ponselnya dan berlari kencang ke arah hutan di depan resortnya. Entah apa yang merasukinya, Zeke malah berlari mengejar binatang tersebut jauh ke dalam hutan.


Sudah hampir lima belas menit ia berlari, yang berakhir sia-sia karena ia kehilangan jejak binatang tersebut, barulah ia sadar kalau ia sudah masuk terlalu jauh kedalam hutan. Hanya dengan mengandalkan penerangan bulan yang cukup untuk mengawasi medan disekitarnya, Zeke dalam hati merutuki kebodohannya. Baru saja ia hendak berjalan ke arah yang ia yakini merupakan tempat ia berasal, sebuah sinar senter menerangi wajahnya.

“ABANG!” ujar sosok dibalik cahaya tersebut.

“Gala? Ura?” tanya Zeke terheran melihat kedua adiknya yang seharusnya tidak berada disitu.

“Bisa gak sih lo lari gak usah cepet-cepet?” dengan nafas tersenggal mereka berusaha berjalan mendekat ke arah abangnya.

“Lo ngapain disini? Pak Kim tau kalau lo diluar? ini satu, Choi Floura ini udah jam berapa kenapa masih bangun?” ia bertanya tanpa henti sembari menatap gusar. Gala melihat ke arah abangnya dengan pandangan lelah.

“Ya enggak lah! Kan gue tadi mau nyuruh lo masuk soalnya gue liat lo gak ada di kamar. Ternyata beneran lagi selonjoran di depan resort. Baru aja mau gue panggil lo udah lari aja ke arah hutan. Gak mungkin lah gue biarin gitu aja,” jelas adik laki-lakinya tanpa terhenti sembari masih mengatur nafas.

“Aku tadi baru balik dari supermarket pas ngeliat Bang Gala lari ke arah hutan, jadinya aku ikutin deh,” ujar adik bungsunya sembari menunjukkan kantong belanja yang masih ia pegang.

“Aduh, kacau udah,” Zeke mengusap wajahnya dengan kasar. Tak cukup ia saja yang tersesat, sekarang kedua adik kembarnya juga ikut tersesat bersamanya.

“Terus gimana ini? Lo berdua ada yang bawa hp gak?”

“Aku enggak bawa bang, tadi hpnya aku titipin Aireen.”

“Bawa sih ini. Buat apaan?” tanya Gala sembari mengeluarkan ponsel pintarnya dari saku celananya.

“Buat liat GPS lah. Setidaknya kita tau ke arah mana musti jalan,” Ia mulai membuka aplikasi penunjuk arah tersebut.

Namun sepertinya malam itu tuhan memang tidak berpihak di sisinya, ponsel pintar Gala tidak berhasil menangkap titik tempat mereka berada. Tak cukup sampai disitu, sinyal di ponselnya menunjukkan tanda silang yang berarti mereka juga tidak dapat menelpon siapapun untuk meminta pertolongan. Floura melihat raut panik yang disembunyikan oleh abangnya. Ia lalu memberanikan diri untuk bertanya.

“Jadi kita harus gimana, Bang?” anak berusia 14 tahun itu mulai memegang sisi jaket abangnya.

“Kita coba ikutin aja jejak sepatu kita pas kesini tadi. Semoga aja masih keliatan,” ujarnya sembari mengambil alih senter dan menggenggam tangan adiknya.


Belum lama mereka berjalan, terlihat sesosok wanita cantik dari balik pohon yang tak jauh dari tempat mereka berdiri. Dengan chiton putih yang menggantung dengan indah disekitar tubuhnya dan aura memikat yang tak dapat dijelaskan dengan kata-kata, wanita itu berjalan dengan anggun ke arah ketiga anak tersebut. Melihat itu, mereka menghentikan langkahnya dan kemudian bergegas berjalan ke arah perempuan tersebut.

“Lho? Mami? Akhirnya ada yang menemukan kita,” Gala langsung berlari senang ke arah wanita tersebut. Zeke yang menyadari ada keganjilan dari cara wanita tersebut menatap mereka langsung menahan kerah belakang jaket yang dikenakan Gala.

“Kamu siapa? Mami gak mungkin ada di hutan jam segini,” Zeke baru saja menyadari bahwa sehebat apapun ibunya, tidak mungkin ia yang sedang melakukan Pameran di Shanghai dapat berada di hutan itu pada malam ini.

“Nak, apa maksudmu? Ini mami sayang,” Ujar wanita itu dengan wajah mengiba. Mendengar perkataan wanita tersebut, Floura langsung menyadari satu hal.

“Ibuku tidak pernah memanggil kami dengan sebutan Nak,” ujar Floura dengan lantang. Wanita itu menatap Floura dengan tatapan menyeramkan seolah ia siap menerkam anak gadis yang berada di hadapannya itu. Selang setelah mendengar perkataan Floura, wanita tersebut langsung menunjukkan sosok aslinya.

“Dasar anak tidak tau diri!” ucap wanita yang telah merubah pakaiannya menjadi chiton pendek tersebut. Rambut api, kaki kiri palsu berbahan besi dan kaki kanan seperti kaki kambing. Zeke yang pernah mendengar tentang ciri makhluk tersebut dari buku yang sering dibacakan ibunya menyadari dengan siapa mereka sedang berhadapan.

“Sial, Empousa! Gala, Ura! Tutup telinga kalian!” perintah anak sulung itu kepada kedua adiknya. Ia menggenggam kedua tangan adiknya dan berlari sekencang yang mereka bisa semakin dalam ke arah hutan.

“Berhenti!” ujar wanita itu dengan nada memerintahkan. Seperti tengah tersihir, Zeke yang tidak sempat menutup telinganya langsung menghentikan langkahnya dan berbalik ke arah wanita tersebut. Gala dan Floura yang melihat bahwa genggaman tangan abangnya melonggar langsung menahan tubuh Zeke yang sudah berjalan maju ke arah makhluk menyeramkan yang sedang tersenyum lebar itu.

“Bang, Bang Zeke! Abang sadar!” Mereka terus mengguncang tubuh Zeke dan berusaha menyeretnya ke arah berlawanan, namun anak kelas 3 SMP tersebut seperti tersihir oleh kalimat-kalimat yang diucapkan sang monster wanita. Tak memiliki pilihan lain, Gala akhirnya memukul kepala Zeke dengan senter besi yang dipegangnya hingga Zeke tersungkur ke tanah.


Zeke tidak dapat mengingat entah bagaimana caranya ia sudah berada di padang rumput dengan pemandangan hijau yang sangat menenangkan. Ia tak dapat mengingat sudah berapa lama semenjak ia merasakan ketenangan yang amat sangat damai ini. Tubuhnya yang sudah terlalu lama terbelenggu oleh tuntutan-tuntutan yang diberikan ayahnya, langsung merebahkan diri di lahan empuk tempat ia berpijak. Angin yang berembus dengan lembut membuat matanya menutup dengan cepat dan mengantarkannya kedalam tidur yang amat tenang. Entah berapa lama sudah ia tertidur ketika terdengar sebuah bisikan lembut dari arah kanannya.

“Zacharias, bangun sayang. Adik-adikmu membutuhkan bantuanmu,” bisik sesosok cahaya lembut yang berpendar dari arah barat. Seketika ia mengingat hal terakhir yang sedang ia lakukan. Ah, bodohnya ia malah terlena oleh tipu daya makhluk menjijikkan itu. Dengan seketika ia langsung bangkit dari tidurnya dan mencari ranting terdekat. Dengan sekuat tenaga ia menancapkan ujung runcing dari ranting yang baru saja ia patahkan dengan harapan semoga itu cukup untuk membuatnya terlepas dari semua ilusi ini.


“Ah, anak pintar. Terima kasih karena telah memudahkan pekerjaanku. Sekarang mendekatlah anak manis,” tawa wanita tersebut melengking keras hingga Gala dan Floura menutup telinga mereka semakin rapat.

Disaat menutup telinganya, Gala baru saja menyadari satu hal. Ia dapat mengalihkan perhatiannya dari ucapan wanita tersebut jika ada sesuatu yang membuat fokusnya teralihkan. Dengan tutup baterai dari senter yang cukup runcing, ia menggores tangannya hingga mengeluarkan beberapa tetes darah. ‘sekarang, fokus pada rasa sakitnya dan lawan monster itu Gala!’ ujarnya pada diri sendiri. Floura yang melihat kembarannya merobek kulit tangannya langsung melakukan hal yang sama. Ia baru saja hendak mencari senjata untuk melawan wanita tersebut ketika Gala menghentikan gerakannya.

“Lo tunggu disini saja, jaga Abang. Biar gue yang melawan wanita itu,” ujar Gala dengan suara yang sedikit bergetar. Floura mengerti jika abangnya itu juga ketakutan, namun tak ada gunanya melawan perkataan si keras kepala itu. Ia akhirnya berjalan mundur ke arah dimana tubuh abang sulungnya berada dan membiarkan Gala maju melawan monster tersebut.

Gala mungkin memang sedikit takut, namun dengan penuh perhitungan ia berlari ke arah wanita tersebut dan menendang dada wanita tersebut tepat dimana seharusnya jantung manusia berada. Namun dengan kelihaian yang tak pernah dilihat sebelumnya olehnya, ‘bahkan ayahnya sekalipun tidak selihai itu’ pikirnya, wanita tersebut dapat dengan cepat kembali berdiri dan siap menerjang. Gala kemudian berusaha untuk menarik rambut api wanita tersebut dan menghantamkan lututnya tepat ke kepala wanita itu, yang hanya disambut dengan lengkingan tawa yang cukup membuat Gala jengkel setengah mati. Entah sudah berapa pukulan dan tendangan yang didaratkan Gala ke arah kepala wanita tersebut yang berakhir sia sia karena sesaat sebelum ia mengarahkan tendangan terakhirnya, wanita tersebut langsung menangkis dan melemparkan Gala ke tanah.


Di sisi lain, Floura yang tidak tenang hanya melihat kakak kembarannya berjuang sendiri akhirnya berusaha untuk membangunkan abangnya yang pingsan itu.

“Abang, bangun! Astaga, abang jangan kebo di saat kayak gini dong ah,” ujarnya dengan sedikit menampar pipi abangnya dengan sedikit kencang. Hasilnya? Nihil. Dia masih bergeming.

Floura tahu dia harus mencari jalan lain untuk setidaknya membantu kakak-kakaknya. Dia mengedarkan pandangannya ke sekeliling meski gelap yang ia temui, demi mencari sesuatu yang menurutnya berguna. Tak jauh dari tempatnya duduk, ada benda putih tergeletak di sebelah kiri tubuhnya. 'Kantong plastik… OH AIR!' batin Floura. Dia segera bangun dan berlari menuju benda yang ia yakini adalah kantong plastik berisi beberapa makanan cemilan dan minuman yang ia beli sebelum mengejar abangnya. Dengan cepat dia mengambil botol air mineral dan mulai mendekati monster itu.

Tapi sesaat dia melewati abangnya yang masih pingsan itu, dia berbisik sebelum menamparnya dengan keras, “Maaf kalo sakit ya, bang. Abisan susah banget, jadinya pantes aku tampar hehe. Sayang abang, muach!”

Dia melihat raut wajah abangnya mulai menunjukkan reaksi, tapi dia tak begitu peduli karena yang penting sekarang adalah kondisi kakaknya yang satu lagi. Gala sudah terlihat kelelahan dan itu cukup membuat Floura kesal karena tak banyak hal yang bisa membantu kakak kembarnya. Dia juga tahu jika usaha yang akan dia lakukan itu akan sia-sia, tapi setidaknya dia sudah berusaha.

Saat dia akan mendekati mereka, dia melihat Gala tersungkur di tanah. Melihatnya mengerang kesakitan dengan raut wajah kesal. Untuk beberapa saat Floura bergeming, merasa terkejut dengan yang dia lihat barusan. Tapi, hal itu justru membuat tekad dia semakin kuat. Dia mendekatkan diri dengan monster itu dan melemparkan air di botol padanya. Ketika air sudah habis, dia melemparkan botol itu dengan sedikit kesal meski tubuhnya gemetaran karena takut. Gala yang melihat tingkah adiknya itu hanya bisa menepuk jidatnya, tak habis pikir. Namun, monster itu terlihat lebih marah dari sebelumnya.

“Anak kurang ajar! Seharusnya aku membunuhmu terlebih dahulu,” kesal Empousa tersebut sambil mendekati Floura.

Saat Floura akan berbalik dan lari, ada suara teriakan yang berasal dari belakangnya, “URA NUNDUK!”

Floura dengan sigap menuruti perintah dari suara teriakan itu dengan sedikit rasa lega menghinggapi dirinya karena akhirnya abangnya itu bangun, dan sebuah benda hitam pun melesat tepat mengenai kepala wanita tersebut.


Gala baru saja hendak menyelamatkan kembarannya ketika sebuah benda hitam besar melesat tepat mengenai kepala monster tersebut. Dengan pencahayaan minim, ia berusaha melihat kesumber benda hitam tersebut berasal. Terlihatlah sosok abangnya yang sudah berada di dekat wanita tersebut dengan memegang dua bongkahan batu yang besarnya hampir melebihi badannya. Sedangkan adik bungsunya langsung berlari ke arahnya.

“Kamu menyuruhku untuk diam saja padahal kamu tau kalau kamu tidak cukup kuat untuk melawannya. Syukurlah aku dapat dengan segera membangunkan Bang Zeke,” ujar sang adik dengan raut muka yang sangat khawatir.

“Maafkan aku, sepertinya pelatihan dari Ayah belum cukup untuk membuatku menjadi sekuat itu,” Gala meringis kesakitan disaat Floura berusaha membantunya berdiri.

Ia kemudian mengalihkan pandangannya ke arah abangnya yang sedang melawan wanita itu dengan membabi buta. Tanpa ampun Zeke menjatuhkan batu-batu tersebut ke badan monster yang terus berusaha untuk bangkit kembali. Entah kekuatan dari mana yang dimiliki abangnya, ia terus mengambil batu batu-batu berukuran besar dan melemparkannya ke arah wanita tersebut. Selang beberapa saat kemudian tak lagi terdengar lengkingan tajam dari balik batu tersebut.

“Ayo, kita pulang,” Ujar Zeke sembari mengulurkan tangan pada kedua adiknya.

“Iya, ayo pulang. Tapi senternya kayaknya hilang,” Floura berusaha mencari ke sekeliling mereka setelah menyerahkan Gala yang kesulitan untuk berdiri kepada abangnya.

Entah keajaiban apa, tiba-tiba saja batang pepohonan di sekitar mereka terbakar api yang membentuk simbol yang tak dapat diterjemahkan oleh Zeke maupun kedua adiknya. Setelah beberapa menit memperhatikan, mereka kemudian menyadari bahwa pepohonan yang memiliki bekas terbakar yang masih menyala membentuk sebuah jalan yang mengarah entah kemana. Di atas pohon tersebut juga terlihat seekor burung hantu yang melihat kearah mereka dengan seksama. Kemudian sang burung mengepakkan sayapnya kearah yang sama dengan pepohonan yang memiliki tanda dan masuk lebih jauh kedalam hutan. Ketiga kakak-adik itu saling berpandangan, memahami bahwa mungkin malam masih panjang dan sudah cukup melelahkan namun belum cukup untuk berhenti sampai disini. Mereka akhirnya memutuskan untuk mengikuti jalur api dan burung hantu tersebut, menyerahkan nasib mereka pada yang maha kuasa.


Sinar biru sudah mulai terlihat di ufuk langit, yang menandakan mereka sudah berjalan semalam suntuk. Baik Zeke maupun kedua adiknya sudah tidak memiliki tenaga untuk berjalan maju, namun hal ini dipatahkan ketika mereka mendengarkan suara samar tak jauh dari tempat mereka berada. Sempat sedikit takut jika yang mereka datangi adalah sekumpulan monster lainnya, Floura berhasil meyakinkan abangnya untuk terus berjalan maju. Dengan bertopang pada pohon dengan simbol yang terakhir, Zeke melihat ada segerombolan anak yang melihat kearahnya. Belum sempat ia mengucapkan salam, sebuah cahaya berpendar diatas kepalanya dan kedua adiknya.

“Hephaestus’ Son!”

“Yang satu itu memiliki simbol Athena!”

“Dua anak Hephaestus dan satu anak Athena? Sungguh langka.”

“Putri Athena!”

“Sudah lama kita tidak kedatangan anak laki-laki Hephaestus!”

Zeke tak lagi dapat mendengar kata-kata selanjutnya karena tubuhnya sudah terlanjur menyerah dan ambruk ke tanah. Satu hal yang ia pahami adalah ia sudah berada di tempat yang aman. Mungkin juga nanti ketika terbangun ia dapat bertanya bagaimana cara untuk keluar dari hutan menuju penginapannya. Zeke hanya dapat berharap semoga saja pelatih dan ayahnya tidak memarahinya sebegitu parah.

“I dreamed I was a butterfly, flitting around in the sky; then I awoke. Now I wonder: Am I a man who dreamt of being a butterfly, or am I a butterfly dreaming that I am a man?” -Zhuangzi